“ DEMI TEKAD ”


Bismillahirrahmaanirraahiim

pokoknya ibu mau kamu ada di sini, di rumah, kumpul sama keluarga, lanjutin kuliah juga di sini biar bisa bantu ayah cari nafkah”.

Sepenggal kalimat itu yang selalu terkenang dalam pikiran saya. Ibu selalu berharap agar saya melanjutkan kuliah di Bekasi, tempat tinggal kedua orang tua saya. Sebenarnya saya bisa merasakan betapa sedihnya ibu karena saya. Percakapan dengan ibu lewat telepon itu terjadi setelah saya memutuskan untuk mengabdi di Baiturrahman, tempat saya mendapatkan ilmu, cerita, berita dan derita, suka bahagia serta mengajarkan saya tentang hidup.

apa masih kurang waktu 6 tahun pisah sama ibu dan keluarga? Ibu cuma minta kamu bisa kumpul sama keluarga di sini, itu aja”.

Berat batin ini sungguh, untuk memilih antara mengikuti titah ibu yang telah ikhlas membesarkan saya dengan kasih sayangnya, atau tetap keukeuh sama kata hati ini yang begitu kuat untuk bisa mengabdi di Baiturrahman.

Setelah lulus SMA, saya memang  sempat bertekad untuk bisa menjadi saksi sejarah perkembangan Pesantren ini karena saya menilai bahwa tidak ada tempat sebaik dan seindah Baiturrahman. Lingkungan alamnya yang sejuk, udaranya yang masih bersih ditambah dengan hubungan persaudaraan yang harmonis sesama pengurus pondok serta santrinya, menjadi alasan kuat saya untuk selalu menjadi bagian dari perjalanan sejarah pesantren ini. Saya mengenal pesantren ini sejak duduk di kelas 1 SMP dan menjadi santri di sini.

Setelah debat panjang, akhirnya ibu mengizinkan saya untuk mengikuti kata hati saya. Alhamdulillah beliau bisa mengerti harapan anaknya. Dengan isakan dan air mata, ibu berpesan untuk selalu Istiqomah dengan pilihan saya, karena setiap pilihan itu mengandung resiko yang harus dihadapi, jangan mundur meski hanya selangkah dan saya menyatakan siap, insya Allah.

Hidup memang sulit ditebak, liar seperti angin kencang yang tertiup ke segala arah. Itulah pengalaman yang saya rasakan saat pertama bertugas di sini. Awal mulanya, saya diminta untuk menjadi pelatih bela diri yang memang kebetulan saya pernah mengikuti pelatihan selama kurang lebih dua tahun di “Elang Suci”, wadah pelatihan bela diri yang diasuh oleh yayasan. Saya tekuni tugas ini dengan sepenuh hati selama beberapa bulan, namun seiring berjalannya waktu, saya dipanggil menghadap kepala sekolah di ruang kantornya. Saya diminta kesediaannya untuk menjadi guru pengganti di pelajaran penjas, karena guru sebelumnya tidak bisa memenuhi tugasnya. Meski awalnya ragu, saya terima saja amanah itu, dan mulai menjalani hidup sebagai seorang guru.

Guru ?...
Tak pernah terlintas dalam benak saya bercita-cita menjadi guru. Sejak SD dulu, setiap guru saya bertanya tentang cita-cita, selalu saya jawab, ”apapun cita-citanya saya mau, asalkan jangan jadi guru”,  karena memang bukan keinginan saya untuk jadi guru. Tapi Allah berkehendak lain.

Setelah saya terbiasa berbicara di depan kelas sebagai guru, berhadapan dengan murid-murid, buku-buku, nilai-nilai serta tugas-tugas, ada satu hal lagi yang hati saya menolak menerima jika ditawari satu amanah besar, yaitu menjadi Wali Santri. Lho kenapa?...


Tak pernah mata dan telinga saya luput untuk memperhatikannya. Dalam setiap pertemuan pengurus Pesantren, saya selalu mendengar ada saja masalah-masalah yang muncul dari santri, dan masalah yang muncul itu bukan perkara mudah bahkan bisa dibilang sangat sulit untuk dicari jalan keluarnya. Tapi semua masalah rumit itu harus diselesaikan dan dicari solusinya oleh wali santri. Makanya, satu-satunya amanah yang pertama akan saya tolak jika diminta menanggungnya yaitu menjadi, wali santri.

Bukan karena sebab lain, tapi karena memang saya masih belum sanggup untuk memikulnya. Menghadapi santri yang berbeda karakter, beda masalah, beda latar belakangnya serta keluarganya, saya belum sanggup. Juga masih belum mampu untuk bisa berperan sebagai orang tua pengganti santri selama mereka belajar di sini. Bagaimana mungkin, seorang Fahry yang minim pengalaman, harus menjadi orang tua dan mengasuh anak orang lain yang jumlahnya bukan seorang tapi belasan bahkan puluhan.

Entah apa sebabnya dan kapan “musibah” itu datang menghampiri, saya lupa, bener-bener saya lupa, di mana pada akhirnya saya menerima amanah yang berat itu begitu saja, menjadi wali santri. Dan saya juga lupa, apakah saat itu saya dalam keadaan sadar atau tidak, bingung.

***

Benar saja, awal bertugas menjadi wali santri, saya langsung berhadapan dengan masalah santri yang berat. Ada santri yang menangis terus di asrama karena kangen orang tuanya, seharian dia gak mau keluar asrama untuk gabung sama teman-temannya bermain, saya berusaha membujuknya agar berhenti menangis, tapi saya bingung, bukannya berhenti malah semakin keras menangisnya, ya sudah saya tinggalin aja, biar dia berhenti sendiri.

Pernah juga ada santri yang duduk di atap Mesjid, murung karena gak betah di Pesantren. Sambil sesenggukan dia minta ke saya supaya kakeknya datang untuk menjemputnya pulang. Saya rayu dia dengan santun biar mau turun dari atap. Bukannya turun malah dia membentak sambil mengusir saya dari tempat itu, padahal saya sudah mengatur kata-kata yang bagus dan selembut mungkin, tapi hasilnya tetap nihil. nah loh?... jadi tambah bingung. Dalam hati “Baru kali ini ada seorang  pelatih bela diri (dulu, itu juga karena dipaksa hehe) diusir sama anak kecil, pake kata-kata kasar lagi. Kalau saja dia....” ah sudahlah, namanya juga tugas.

Tugas wali santri itu setiap hari harus membangunkan santri yang masih tidur di asrama. Makanya ada juga kewajiban saya membangunkan santri di asrama menjelang waktu shubuh. Setelah bersiap diri dengan berpakaian rapih, saya bergegas menuju asrama, membuka pintu asrama lalu membangunkan santri satu persatu di tempat tidurnya masing-masing. Ternyata memang gak mudah, banyak santri yang susah untuk dibangunkan, ada yang mengeluh kedinginan lalu menarik lagi selimutnya menutupi badan, ada yang pura-pura sakit, sampai ada yang – entah sengaja atau tidak – (maaf) kentut ! tepat di muka saya, yang memang kebetulan dia tidur di ranjang atas. Masya Allah, (seingat saya, perasaan dulu sewaktu jadi santri gak gitu-gitu amat...!).
Pernah juga saya salah membangunkan santri. Karena memang susah, saya mencoba cara lain yaitu berteriak sekerasnya sambil menarik selimut dan menyemprotkan air dingin tepat di mukanya. Awalnya berjalan lancar, tapi setelah beberapa santri sudah berhasil bangun, saya melihat masih ada orang yang tidur di balik selimut, kontan saya menuju tempat tidur di pojok itu dan segera saya tarik selimutnya sambil menyemprotkan air tepat di mukanya. Bukan main kagetnya, ternyata  saya salah semprot, bukannya santri malah orang tua santri yang sedang menginap di asrama (lagian siapa suruh tidur di asrama...?). Langsung saja saya minta maaf dan ngaciiir, ( Memalukan !@#$ ).

Membangunkan santri memang butuh kesabaran ekstra, soalnya pernah juga saya alami ketika membangunkan salah seorang santri, tiba-tiba saja dia berdiri dan mengajak saya berantem karena merasa saya mengganggu tidurnya. (Weitss, belum tau dia kalau saya mantan jawara balap karung). Langsung saja dia minta maaf setelah sadar ada saya di hadapannya. Katanya, dia semalaman mimpi berkelahi sama pak RT di rumahnya (haah..??).

***

Tentang usil
woi, siapa yang make handuk saya..? bukannya bilang-bilang dulu.. dasar maling” sering saya mendengar kalimat seperti itu tapi beda-beda kasusnya. Hampir ada setiap hari santri yang mengaku kehilangan barang atau peralatan pribadinya, atau juga seragam yang sudah dia siapkan untuk berangkat ke sekolah, baru ditinggal sebentar, tiba-tiba menghilang entah ke mana (apa bisa baju kabur, karena menolak dipake?) semua masalah itu harus diselesaikan saat itu juga oleh walisantri.

Tentang kabur
Ada kalanya juga saya menangani kasus anak yang kabur dari pondok. Malam-malam ada santri yang menyelinap dari balik tembok, di balik semak-semak dan mendekati pagar untuk melompatinya, (hebring euy... aya santri nu bisa jadi ninja, padahal teu aya nu ngajarkeun) (ini siapa sih pelatih bela dirinya?) (Eits, saya mah sudah mantan, wee...). diantara yang berhasil kabur, ada juga santri yang gagal kabur dan tertangkap, tergantung dari seberapa sering pengalaman mereka kabur.

Tentang berantem
Karena memang sudah wataknya kaum Adam, hampir ada saja setiap hari yang berkelahi, meski masalahnya cuma sepele. Tapi uniknya, setiap mereka selesai baku hantam hingga babak belur, beberapa lama setelah didamaikan, kebanyakan mereka akan terlihat barengan lagi, ketawa bareng, main bareng, ngobrol bareng (soalnya kalo ngobrol sendiri kan gak enak). Beda dengan kaum Hawa, dari beberapa kejadian yang pernah saya tangani, biasanya “mahluk halus” ini kalo berantem dengan temannya, bisa sampai berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk bisa akur lagi, bisa ngobrol lagi, ketawa lagi, nyuci lagi, makan lagi, berantem lagi. Memang unik ya!!

***

Terkadang saya pikir, hebat juga dengan profesi yang satu ini, karena wali santri hampir di setiap tempat dan waktu selalu diikuti oleh tanggung jawab terhadap santri. Ketika ada santri yang sering bolos sekolah karena mengeluh sakit dan mengurung diri di asrama seharian, wali santri harus bisa memotivasinya untuk mau berangkat sekolah. Setelah ditanya ternyata dia sedang ada masalah dengan pelajaran di sekolah. Wali santri memang harus bisa pandai membaca situasi yang sedang dihadapi santrinya, jika salah menangani, maka akibatnya bukan selesai, malah akan menambah berat masalahnya.

Pernah saya merasa bingung sekali ketika menangani anak santri yang berterus terang ke saya untuk keluar dari pesantren karena merasa tidak tahan dengan peraturan yang berlaku di Pesantren ini. Dia bilang mau hidup bebas, seperti teman-temannya di sekolah sebelumnya. Dia melihat teman-temannya bisa begitu bebas dan bisa menikmati indahnya masa-masa remaja. Berulang kali saya memberinya nasehat, bahwa apa yang dilihatnya itu adalah fatamorgana, semua indah pada awalnya tapi ketika di akhir akan datang penyesalan karena ternyata keindahan itu semu, tidak ada. Dia tidak menerima nasehat saya itu, dan memaksa kepada orang tuanya untuk menjemputnya dan mencari sekolah lain, dan orang tuanya setuju (terkadang ada juga orang tua yang dengan mudah memberikan apa yang diminta anaknya). Akhirnya anak itu benar-benar keluar dari pesantren ini.

Beberapa bulan setelah dia keluar dari sini, saya mendapat kabar, dia ditangkap polisi dan mendekam dalam penjara karena terlibat dalam sebuah kecelakaan di jalan raya, itu terjadi setelah dia melakukan balap liar bersama teman-temannya. Orang tuanya cerita, anaknya menyesal sekali karena keluar dari pesantren, juga karena tidak mendengarkan nasehat saya. Dia minta maaf ke saya dan benar-benar menyesal, seandainya dia mendengar nasehat saya pasti tidak akan menjadi seperti ini. Melalui surat, dia minta ke teman-temannya di pesantren untuk tidak mengikuti jejaknya, keluar dari pesantren.

***

Permasalahan wali santri yang muncul tdak semuanya berasal dari santri, bahkan tak jarang orang tua santri yang malah mendatangkan masalah. Ketika ada santri yang terbaring lemah karena sakit di asrama, tugas wali santri harus segera memberikan perhatiannya dengan membawakan makan dan obat dari Poskestren atau membawanya ke dokter terdekat. Kalau memang sakitnya bertambah parah dan tak kunjung sembuh, maka wali santri menghubungi orang tua untuk minta keterangan orang tua, apakah santrinya akan dirujuk ke rumah sakit atau akan dibawa pulang. Terkadang ada juga orang tua yang menyalahkan wali santri, karena anaknya tidak diperhatikan dan diurus hingga mengalami sakit parah, padahal semua usaha sudah dilakukan demi kesembuhan santri tersebut. Bukan sekali dua kali saya mengalami hal seperti itu. Meski kurang nyaman dengan kondisi itu, wali santri dituntut harus tetap santun dan lapang dada menghadapinya. Inilah ujian kesabaran yang sesungguhnya, bukan teori lagi.

Masalah-masalah yang muncul itu tentu harus dihadapi dengan lapang dada dan ikhlas, kalau saja yang keluar hanya keluhan, caci maki bukannya menghilangkan masalah justru akan semakin banyak masalah yang muncul. Istilahnya, “sudah mah capek malah ga ikhlas, rugi kan?”.

Saya yakin apa yang sedang saya jalani ini, Allah sedang mendidik saya menjadi seorang pemimpin umat yang tangguh di masa depan dan harapan saya mudah-mudahan saja ini adalah jalan terpendek saya menuju surga-Nya. Sampai kapanpun saya akan tetap berada di sini, dengan amanah yang besar sekalipun, demi sebuah tekad saya siap menanggungnya.
Insya Allah, wallahu a’lamu bish shawwab.




Bumi Baiturrahman, Januari 2013