ZAINAB BINTI MUHAMMAD - 1


Keteguhan Hati Seorang Istri Terhadap Suami



Zainab dilahirkan ketika Rasulullah SAW berusia 30 tahun. Ketika dia beranjak dewasa dan mencapai umur pernikahan, Halah binti Khuwailid meminta pada saudaranya, Khadijah binti Khuwailid (istri Rasulullah), agar Zainab kawin dengan anaknya, Abul Ash bin Rabi’. Rasulullah SAW kemudian menikahkan Abul Ash dengan Zainab. Tak lama kemudian Abul Ash bin Rabi' memboyong Zainab ke rumahnya. 

Khadijah pergi menemui kedua suami istri yang saling mencintai itu dan mendoakan agar keduanya mendapatkan berkah. Kemudian dia melepas kalungnya dan mengalungkannya ke leher Zainab sebagai hadiah perkawinan. 


Perkawinan itu berlangsung sebelum turun wahyu kepada ayahnya, Nabi SAW. Ketika wahyu telah turun kepada Rasulullah SAW, beliau mengajak Abul Ash untuk memeluk Islam, namun dia menolak dan memilih tetap menjadi seorang musyrik. Sementara Zainab memilih masuk Islam dan memeluk agama Allah. Ia tetap dalam keislamannya sedang suaminya tetap dalam kekafiran, sehingga tiba masanya Nabi untuk berhijrah. 


Setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, pasukan Quraisy berangkat menuju Badar untuk memerangi Rasulullah dan umat Islam. Di antara mereka terdapat Abul Ash bin Rabi', bukan untuk menyatakan keislamannya, tetapi untuk memerangi Rasulullah.


Perang pun berkecamuk dan dimenangkan oleh kaum Muslimin. Sebagian besar tentara Quraiys tewas dan sebagian lagi tertawan, termasuk Abul Ash. Para tawanan pun digiring ke Madinah oleh kaum Muslimin. 

Kemudian kaum Quraisy mengutus orang untuk menebus para tawanan. Zainab pun mengirimkan uang tebusan untuk menebus suaminya, Abul Ash bin Rabi'. Di antara uang yang dikirimkan Zainab terselip seuntai kalung pemberian ibunya ketika ia menikah dulu. 


Ketika Rasulullah SAW melihat kalung tersebut, beliau bersedih hati dan berkata, "Jika kalian tidak keberatan melepaskan tawanan dan mengembalikan harta miliknya, maka lakukanlah." 


Para sahabat menjawab :"Baiklah, wahai Rasulullah." 


Kemudian mereka melepaskan Abul Ash dan mengembalikan harta milik Zainab. Abul Ash berjanji kepada Rasulullah SAW bahwa ia akan membebaskan Zainab dan mengembalikannya kepada beliau di Madinah.


Ketika Abul Ash dilepaskan dan tiba di Makkah, Nabi SAW mengutus Zaid bin Haritsah dan seorang dari kalangan Anshar untuk mewakilinya. Beliau berpesan, "Pergilah kalian hingga berada di daerah Ya’jaj—sebuah tempat di dekat Makkah—hingga Zainab melewati kalian berdua. Maka hendaklah kalian menemaninya hingga kalian berdua datang padaku dengan membawanya!" 


Abul Ash sangat berterima kasih kepada istrinya yang berbakti dan mulia itu. Maka ia pun berkata, "Kembalilah kepada ayah mu, wahai Zainab." 


Abul Ash telah memenuhi janjinya kepada Rasulullah SAW untuk membiarkan Zainab kembali padanya. Ia tak kuasa menahan tangis dan tak dapat mengantarkan istrinya ke tepi dusun di luar Makkah, di mana telah menunggu Zaid bin Haritsah dan seorang laki-laki Anshar.


Abul Ash meminta saudaranya, Kinanah bin Rabi', untuk mengantarkan Zainab. Abul Ash berpesan pada Kinanah, "Saudaraku, tentulah engkau mengetahui kedudukannya dalam jiwaku. Aku tidak menginginkan seorang wanita Quraisy di sampingnya dan engkau tentu tahu bahwa aku tidak sanggup meninggalkannya. Maka temanilah dia menuju tepi dusun, di mana telah menungggu dua utusan Muhammad. Perlakukanlah dia dengan lemah lembut dalam perjalanan dan perhatikanlah dia sebagaimana engkau memerhatikan wanita-wanita terpelihara. Lindungilah dia dengan panahmu hingga anak panah yang penghabisan."


Setelah menyelesaikan persiapan, Kinanah bin Rabi' menyerahkan seekor unta kepada Zainab, lalu dinaikinya. Kinanah mengambil busur dan anak panahnya, kemudian keluar membawa Zainab di waktu siang. Zainab duduk di dalam sekedup, sementara Kinanah menuntun untanya. 


Kabar tentang kepergian Zainab menemui Muhammad SAW, ayahnya, terdengar oleh beberapa orang Quraisy sehingga mereka keluar untuk mengejarnya. Beberapa saat kemudian mereka melihat Zainab di suatu lembah yang disebut Dzi Thuwa. Orang yang pertama kali menyusulnya adalah Hubar bin Al-Aswad dan Nafi’ bin Abdul Qais Al-Fahri. Hubar menakut-nakutinya dengan tombak agar ia kembali ke Makkah. Zainab masih berada di atas untanya, pada saat itu dia sedang hamil. Ketika dia kembali ke Makkah, dia mengalami keguguran. 


Melihat saudara iparnya diperlakukan demikian, Kinanah marah dan menyiapkan panahnya. "Demi Allah, tidak ada seorang pun yang mendekati diriku kecuali aku tancapkan anak panah padanya."


Mendengar hal tersebut orang-orang menjadi gentar. Tak lama kemudian Abu Sufyan bersama rombongan Quraisy datang dan berkata pada Kinanah, "Hai laki-laki, tahanlah panahmu hingga aku berbicara kepadamu."