AHMAD IZZAH AL ANDALUSY


Tahun 1525 ketika matahari sudah merdup cahayanya. Di sebuah penjara tempat tahanan orang-orang yang sangat hening dan mencengkam. Jenderal Adolf Roberto, seorang pemimpin penjara yang terkenal bengis tengah memeriksa setiap kamar tahanan.
Setiap penjara membungkukan badannya rendah-rendah ketika ‘sang algojo’ itu melintasi di depan mereka. Jika tidak, maka sepatu ‘boot keras’ milik tuan Roberto yang dikenal kristen fanatik itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto amat murka ketika dia mendengar dari sebuah kamar tahanan suara seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. 
“Hai…hentikan suara jelekmu itu! Hentikaan…!” Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Lelaki di kamar tahanan itu tetap saja bersenandung dengan nikmatnya. Roberto bertambah berang, dia pun menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak cukup untuk satu orang.
Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput dn tubuhnya hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyundut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib… Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat tegar meneriakkan kata Rabbi, wa ana ‘abduka… Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah wahai ustadz…Insya Allah tempatmu di Surga.”
Melihat keteguhan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, ‘algojo penjara’ itu bertambah memuncak murkanya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.
“Hai orang tua busuk! Bukankah kau tahu,  aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Kau telah membuatku benci dan geram dengan ‘suara-suara’ yang seharusnya tidak kau keluarkan di sini. Sebagai balasannya kau akan kubunuh.... Kecuali, kalau kau minta ampunanku dan masuk agama kami.”
Mendengar “khutbah” Roberto, orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang sangat tajam dan dingin. Lalu ia berucap,
“Sungguh…aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Sekarang aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk?!!... Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.”
Tiba tiba kalimat itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki tua itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah segar. Ketika itulah dari saku bajunya yang telah lusuh, meluncur sebuah ‘kitab kecil’. Adolf Roberto melihatnya dan berusaha memungutnya. Namun tangan sang ustadz lebih dulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat. 
“Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!” bentak Roberto.
“Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh kitab suci ini!” ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto. 
Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan kitab itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang semakin lemah.
Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan ‘algojo penjara’ itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.
Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya heran. Perlahan Roberto membuka sampul kitab yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.
“Ah…sepertinya aku pernah mengenal kitab ini. Tetapi kapan? Ya, aku pernah mengenal kitab ini.”
Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan “aneh” dalam kitab itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.
Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustadz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.
Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kecilnya terjadi kekacauan besar di negeri tempat kelahirannya. Saat itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia.
Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para pendeta.
Seorang anak lelaki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. 
Anak kecil itu menumpahkan air mata saat melihat sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan anak itu mendekati tubuh sang ummi yang sudah tak bernyawa, sambil menggelayuti abinya. Sang anak itu berkata dengan suara lirih, “Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa….? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi…”
Anak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dilakukan. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya anak itu berteriak memanggil bapaknya, “Abi…Abi…Abi…” Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapa ketika teringat petang kemarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
“Hai…siapa kamu?!” jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati anak tersebut. 
“Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi…” jawabnya memohon belas kasih. 
“Hah…siapa namamu? coba ulangi!” bentak salah seorang dari mereka. 
“Saya Ahmad Izzah…” dia kembali menjawab dengan agak kasar. 
Tiba-tiba “Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. “Hai budak…! Wajahmu tampan tapi namamu bodoh. Aku benci namamu. Sekarang aku tukar namamu dengan nama yang lebih baik. 
Namamu sekarang ‘Adolf Roberto’…Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” ancam laki-laki itu.
Budak itu menggigil ketakutan, sambil tetap meneteskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan pembantaian. Akhirnya anak lelaki tampan itu hidup bersama mereka.
Roberto sadar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah ‘tanda hitam’ ia berteriak histeria, “Abi…Abi…Abi…” Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. 
Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa kitab kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca bapanya ketika hendak menidurkannya. Ia juga ingat betul bapanya mempunyai ‘tanda hitam’ pada bagian pusat.
Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah di hadapannya. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, “Abi… aku masih ingat alif, ba, ta, tha…” Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.
Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan, kini sedang memeluknya. 
“Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu…” Terdengar suara Roberto meminta belas.